Assalamualaikum
Sebenarnya ketiga
hal ini masih absurd dan belum sepenuhnya aku mengerti, tetapi baiklah, aku
ingin mencoba memperdalamnya sambil menulis artikel ini.
Berada dalam
suatu organisasi yang memegang kekuasaan tertinggi bagi sebagian orang adalah
suatu hal yang keren karena kita bisa membuat aturan – aturan yang nantinya
bakal di laksanakan oleh semua komponen di bawah kita. Telaah lebih dalam dan
tidak usah perdulikan kesan keren dan prestisius yang ditimbulkan jabatan itu.
Lihatlah, betapa mengerikannya tanggung jawab yang diemban oleh pemegang
kekuasaan tertinggi itu apabila dia tidak dengan benar dan sungguh-sungguh
mengemban amanahnya. Suatu hal yang terpenting, apakah dirinya memiliki
legitimasi untuk berada pada pemangku kebijakan tertinggi yang diakui oleh
konstituennya?
Berdasarkan KBBI, Legitimasi adalah 1.keterangan yg mengesahkan atau membenarkan bahwa
pemegang keterangan adalah betul-betul orang yg dimaksud; kesahan; 2 pernyataan yg sah (menurut undang-undang atau
sesuai dng undang-undang); pengesahan;
Terkadang legitimasi menurut
undang – undang atau peraturan yang berlaku sebagai pemberi pengesahan terhadap
kekuasaan seseorang belum tentu pihak yang “dikenai” kekuasaan menerimanya.
Baiklah, saya ingin menyebut jenis legitimasi ini adalah “legitimasi
psikologis”
Sebagai pihak
otoritas atau “pihak yang berkuasa” untuk membentuk aturan yang idealnya tentu
ditujukan demi kebaikan bersama serta keteraturan pun sebagai goalnya memiliki
batasan tertentu dalam kekuasaannya. Bukan batasan tupoksi secara hirarkis,
lebih kepada batasan kekuasaan. Apa hubungannya dengan legitimasi secara
psikologis?
Pihak otoritas
yang membuat aturan akan menerima feedback berupa dukungan dan juga penolakan
terhadap aturan yang dibuatnya. Legitimasi secara psikologis yang diciptakan
massa bergantung pada aturan yang diciptakan pihak otoritas tersebut apakah
berpihak pada mereka atau tidak. Jikapun ditujukan untuk kebaikan mereka yang
menurut pihak otoritas adalah sebuah kebenaran, belum tentu pula dianggap baik
oleh massa. Itu sebabnya mata, telinga, dan hati para pihak otoritas haruslah
ditempatkan dari bawah menuju ke rumusan aturan di atasnya.
Meninjau kurva U
terbalik.
Aturan itu
memiliki batasan maksimum keefektifan pelaksanaannya. Faktor pendukungnya
antara lain yaitu penegakan aturan yang baik, contoh yang baik dari pihak
otoritas (hal ini juga berdampak pada legitimasi yang diberikan massa pada
mereka), serta kekuatan aturan yang proporsional dengan pemahaman ketaatan dari
massa yang dikenai aturan.
Kurva tersebut
akan berbentuk seperti “U” terbalik. Dimana di sisi sebelah kanan kurva dapat
terjadi akibat dari input berlebih yang diberikan dalam aturan tersebut. Misalnya,
aturan terlalu mengekang (dengan pemahaman dari massa yang kurang baik akan
makna dibalik penerapan aturan), pihak otoritas yang tidak bisa dijadikan
contoh panutan, atau tingkat represif pihak otoritas yang memaknai aturan
tersebut terlalu tinggi, sehingga memberatkan pihak yang dikenai aturan. Maka akan
terjadilah antiklimaks. Bisa berupa pemberontakan atau ketidakpedulian akan
aturan itu.
Tulisan ini hanya
hasil observasi dan penarikan kesimpulan secara instan tanpa analisis yang
mendalam terkait data-data dan kondisi nyata. Intinya, ini hanya sekedar opini.
Terimakasih.
wassalam.
wassalam.
No comments:
Post a Comment