Tuesday, February 25, 2014

Legitimasi, Batasan kekuasaan, dan pihak otoritas

Assalamualaikum

Sebenarnya ketiga hal ini masih absurd dan belum sepenuhnya aku mengerti, tetapi baiklah, aku ingin mencoba memperdalamnya sambil menulis artikel ini.

Berada dalam suatu organisasi yang memegang kekuasaan tertinggi bagi sebagian orang adalah suatu hal yang keren karena kita bisa membuat aturan – aturan yang nantinya bakal di laksanakan oleh semua komponen di bawah kita. Telaah lebih dalam dan tidak usah perdulikan kesan keren dan prestisius yang ditimbulkan jabatan itu. Lihatlah, betapa mengerikannya tanggung jawab yang diemban oleh pemegang kekuasaan tertinggi itu apabila dia tidak dengan benar dan sungguh-sungguh mengemban amanahnya. Suatu hal yang terpenting, apakah dirinya memiliki legitimasi untuk berada pada pemangku kebijakan tertinggi yang diakui oleh konstituennya?

Berdasarkan KBBI, Legitimasi adalah 1.keterangan yg mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang keterangan adalah betul-betul orang yg dimaksud; kesahan; 2 pernyataan yg sah (menurut undang-undang atau sesuai dng undang-undang); pengesahan;
Terkadang legitimasi menurut undang – undang atau peraturan yang berlaku sebagai pemberi pengesahan terhadap kekuasaan seseorang belum tentu pihak yang “dikenai” kekuasaan menerimanya. Baiklah, saya ingin menyebut jenis legitimasi ini adalah “legitimasi psikologis”

Sebagai pihak otoritas atau “pihak yang berkuasa” untuk membentuk aturan yang idealnya tentu ditujukan demi kebaikan bersama serta keteraturan pun sebagai goalnya memiliki batasan tertentu dalam kekuasaannya. Bukan batasan tupoksi secara hirarkis, lebih kepada batasan kekuasaan. Apa hubungannya dengan legitimasi secara psikologis?

Pihak otoritas yang membuat aturan akan menerima feedback berupa dukungan dan juga penolakan terhadap aturan yang dibuatnya. Legitimasi secara psikologis yang diciptakan massa bergantung pada aturan yang diciptakan pihak otoritas tersebut apakah berpihak pada mereka atau tidak. Jikapun ditujukan untuk kebaikan mereka yang menurut pihak otoritas adalah sebuah kebenaran, belum tentu pula dianggap baik oleh massa. Itu sebabnya mata, telinga, dan hati para pihak otoritas haruslah ditempatkan dari bawah menuju ke rumusan aturan di atasnya.

Meninjau kurva U terbalik.


Aturan itu memiliki batasan maksimum keefektifan pelaksanaannya. Faktor pendukungnya antara lain yaitu penegakan aturan yang baik, contoh yang baik dari pihak otoritas (hal ini juga berdampak pada legitimasi yang diberikan massa pada mereka), serta kekuatan aturan yang proporsional dengan pemahaman ketaatan dari massa yang dikenai aturan.

Kurva tersebut akan berbentuk seperti “U” terbalik. Dimana di sisi sebelah kanan kurva dapat terjadi akibat dari input berlebih yang diberikan dalam aturan tersebut. Misalnya, aturan terlalu mengekang (dengan pemahaman dari massa yang kurang baik akan makna dibalik penerapan aturan), pihak otoritas yang tidak bisa dijadikan contoh panutan, atau tingkat represif pihak otoritas yang memaknai aturan tersebut terlalu tinggi, sehingga memberatkan pihak yang dikenai aturan. Maka akan terjadilah antiklimaks. Bisa berupa pemberontakan atau ketidakpedulian akan aturan itu.

Tulisan ini hanya hasil observasi dan penarikan kesimpulan secara instan tanpa analisis yang mendalam terkait data-data dan kondisi nyata. Intinya, ini hanya sekedar opini.

Terimakasih.
wassalam.

No comments:

Post a Comment