Sunday, September 29, 2013

Itu Saja

Warna di gelap dan terang
Sama saja
Ah... apa aku buta warna?

Terkadang aku bisa melayang
Meski kaki tetap lekat di bumi
Aku tak tau sedang di mana

Mata ini pembohong
Tertutuplah ia maka...
Si otak ikut berbohong

Tolong aku sobat
Pukul saja mata ku sampai biram

Aku sudah tak percaya lagi
Pada gelap dan terang

Tak mau terbang,
Ingin ku berlari terpejam

Karna aku ingin kejar
Suara indahnya

Itu saja

Sunday, September 22, 2013

Untuk 24 September

Tau ada agenda apa di tgl 24 September? Mungkin hanya sangat kecil seprti atom ukuran jumlah manusia di Indonesia ini yang tahu. Pun begitu di pusat pengembangan disiplin ilmunya. Yah, di sini, di kampus pertanian, kenyataan pahit memang terpampang jelas. Bahwa ada sesuatu yang salah, ntah itu dari mana atau apa aku tak tau. Bukankah harusnya tanggal ini menjadi salah satu tanggal penting di kampus ini?

Oke, tanggal 24 September itu adalah Peringatan Hari Tani. Tanggal 24 September dipilih untuk memperingati tanggal keluarnya UU Pokok Agraria tahun 1960 yang menandai tentang betapa pentingnya peran petani. Sudah selama itu UU pokok agraria dikeluarkan, maka timbulah pertanyaan, sudah sejauh apakah petani kita tersejahterakan?

Kebijakan pemerintah setelah selama kurun waktu 7 dekade sejak ditetapkannya UU Pokok Agraria itu pun belum memberikan dampak yang positif bagi para pejuang kehidupan kita, para petani. Bahkan sejak mengakarnya kapitalisme dan liberalisme di bumi pertiwi ini, maka makin terperosoklah mereka kedalam lumpur sawah yang mereka ingin jadikan sumber penghidupan. Para petani hanya menjadi buruh di atas tanah nenek moyangnya. Yang berkuasa adalah para tuan tanah. Tidak cukup sampai di situ, harga pupuk, pestisida, dan bibit yang mahal tak sebanding dengan hasil yang akan mereka peroleh. Subsidi dari pemerintah tidak cukup besar untuk meringankan beban mereka, sedangkan harga hasil pertanian di pasaran begitu rendahnya. Gambaran bahwa pemerintah masih enggan melirik pada penyejahteraan rakyatnya, kebodohannya yang tidak taktis dalam investasi jangka panjang dengan keunggulan alamiah bangsa kita, atau bahkan hal ini terjadi karena para pejabat itu sudah menjual harga diri bangsa pada pemegang modal? Dan pemberi hutang pada negara kita yang toh nantinya diberatkan juga ke rakyat?

wahai bapak ibuku yang bersedih. Bersabarlah pak, bu. Aku tak tau kalian harus bersabar sampai kapan. Kalau kalian mau, mogok saja setahun. Cari penghidupan yang lain, tanam saja apapun untuk diri kalian, jangan dijual kemana - mana. Biar kami tau rasa betapa pentingnya keberadaan dan pekerjaan mu itu. Biar kami mengerti bahwa memang uang yang kami genggam ini tak bisa di makan.

Kenyataan pahit lagi, bahwa di kampus ku ini masih banyak teman – teman yang tau dan tak mau tau akan hari tani. Tidak usah lah pikirkan hari taninya. Yang lebih penting bukanlah tanggalnya tetapi para petani sesungguhnya. Bagaimana mungkin kita mahasiswa pertanian bisa melupakan mereka?
Apakah pelajaran yang kita terima ini terlalu berbau kapitalis dan liberal? Segala – galanya seperti bertuhankan modal, berorientasi terhadap keuntungan, menyerah pada mekanisme pasar. Dengan memperhalus kata – katanya menjadi nilai tambah produk, membeli komoditas dengan harga murah dari petani, memprosesnya atau dikatakan memberi nilai tambah pada komoditas, kemudian menjualnya dalam bentuk produk yang baik dan memiliki margin keutungan. Baiklah itu memang tidak dilarang, itu adalah suatu yang baik juga, apalagi mampu membuka lapangan pekerjaan baru. Tapi ketika bicara keterkaitannya tentang ketamakan manusia maka akan menjadi lain soal. Apakah akan ada rasa cukup bagimu meraup keuntungan – keuntungan itu? Aku rasa tidak. Kenapa tidak kau kembalikan lagi apa yang kau peroleh untuk kesejahteraan petani yang telah menyediakanmu bahan baku itu? Yang telah mencukupi kebutuhan gizimu sehari hari kawan?

Nah, pengembalian keuntungan inilah yang seharusnya ditekankan pada setiap mahasiswa apapun bidangnya. Biar melekatlah pada otak kita bahwa kita kuliah disini juga berkat peran mereka, kita disini juga dibiayai oleh negara yang uangnya berasal dari kalian juga para bapak ibu petani, dan rakyat secara keseluruhan. Jangan pernah sekali kali berkata bahwa kau kuliah di sini karena kemampuanmu dan kemampuan finansial orangtuamu, ini Perguaruan tinggi negeri bung. Pertanian pula. Harusnya kita menjadi frontliner, garis depan yang memperjuangkan hak petani. Mengembalikan rezeki kita dan sumbangan wajib ilmu kita pada mereka utnuk kesejahteraannya. Bukan untuk kantong pribadi kita yang takkan pernah penuh terisi. Tak usah bicara pemerataan kesejahteraan masyarakat jika di otakmu masih terpatri keselamatan diri sendiri. Cobalah peduli, kawan!

Friday, September 6, 2013

Indonesian's Epic Tetralogy (part 3 end)

Rumah Kaca

"Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia."


Jacques Pangemanann adalah seorang Indo berdarah Menado yang berpendidikan Prancis, dipercaya oleh Gubermen sebagai komisaris polisi di Batavia. Seorang hamba Gubermen yang tunduk dan patuh meski hati, prinsip, serta jiwa intelektualnya tergilas habis dihadapan perintah atasan. Demi jabatan, kehormatan semu, uang, dan kesenangan. Buku Rumah Kaca ini bercerita dengan sudut pandang pertama dari seorang Pangemanann. Perjalanan serta sepak terjangnya menghadang organisasi-organisasi serta meredam perlawanan terhadap Gubermen yang mulai tumbuh di Hindia akibat triger Sang pemula, yang dianggapnya sebagai gurunya, yang dihormatinya, Raden Mas Mingke. Diangkat masuk ke dalam kantor Algemeene Secretarie sebagai staf ahli semakin memudahkannya bekerja mengawasi setiap hal yang berkembang di Hindia hanya melalui berkas-berkas, surat-surat, hasil sadapan, yang disebutnya sebagai “Rumah Kaca”. Transparan, tak ada yang dapat disembunyikan dari seorang Pangemanann, menghancurkan perlawanan pribumi dengan kegiatan pe-“rumah kaca”-annya.

Raden Mas Mingke yang telah di buang ke Halmahera juga akibat kegiatan perumahkacaan Pangemanann ketika menjabat komisaris polisi. Sangat tragis bagaimana bangsa sendiri menghancurkan lainnya yang sedang berjuang utnuk memerdekakakan bangsanya dari kebodohan dan dari penindasan, hanya demi jabatan dan harta.

Disini banyak disinggung bagaimana pertentangan hati pangemanann yang sebenarnya juga tidak mau melakukan ini semua, namun selalu saja kalah dan tersapu oleh egonya.

Buku ini menampilkan reka ulang sejarah dari balik layar yang sangat gamblang dan menarik tentu saja dengan gaya bahasa Pram yang begitu unik dan memberikan nutrisi terbaik bagi intelegensia kita. Sungguh luar biasa dan mengagumkan. Secara umum tetralogi pulau buru terangkum dalam buku terakhir ini, menyuguhkan epilog tragis yang sangat menguras otak dan hati setiap pembacanya pasti.

Dapat ditelaah secara mendalam bahwa kisah dalam buku ini merupakan cerminan kegiatan orang-orang Pemerintahan yang busuk, menggilas bangsanya sendiri, korupsi, pelacuran, suap-menyuap, menjilat atasan dan sebagainya. Pada zaman di terbitkannya, buku ini di hadang pemerintahan orde baru yang tentunya merasa tertikam dengan tulisan-tulisan menyindir Pram. Merka mengetahui, dan lebih mengetahui bahkan dari pada Pram kebenran tulisan Pram, sehingga buku ini ditolak mentah mentah. Buku mahakarya Pram yang luarbiasa ini tak pantas diiperlakukan seperti itu. Inilah warisan, harta benda tak ternilai yang dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Hal-hal yang menutup tabir sejarah semoga bisa terbongkar dan diperbaiki, demi kebenaran, bukan demi kepentingan. Meski itu pahit dan tak mengenakkan.

Sekian


Salam takzim

Indonesian's Epic Tetralogy (part 2)

Jejak Langkah

"Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya."


Melanjutkan Perjalanan Raden Mas Minke yang akhirnya bisa pergi ke Batavia untuk menempuh pendidikan sebagai mahasiswa di STOVIA. Sang calon dokter ini tidak mendapatkan passionnya di sini, dia tetap menulis, berhubungan dengan orang-orang pentin Gubermen hindia belanda, dan bahkan menjalin cinta kasih dengan seorang Tionghoa, Ang San Mei, seorang wanita yang sangat loyal pada bangsanya. Pergerakan Mingke mulai terbentuk di sini, tulisan – tulisannya mulai berbahasa Melayu, meninggalkan kebiasaan lamanya membuat tulisan dengan bahasa Belanda. Bahasa merupakan pintu gerbang informasi dan pengetahuan. Kebanyakan bangsanya telah mengerti dengan bahasa Melayu ketimbang bahasa belanda yang hanya diketahui oleh para terpelajar pribumi saja.

Bersama Ang San Mei istrinya, ia juga melihat bagaimana organisasi yang berjalan di tubuh Tiionghoa Hwe Koan (THHK) untuk memeprjuangkan revolusi di Tiongkok. Ang San Mei yang merupakan anggotanya juga terus aktif menyokong organisasi ini. Bahkan sampai akhirnya tubuh Ang San Mei yang lemah jatuh sakit dan meninggal. Cukup tragis cerita yang mendasari kematiannya itu.

Mingke dikeluarkan dari Stovia di tahun ke-5. Dia tidak menyesal dan bahkan bersukur. Dari sini dimulailah Jejak Langkah perintisan organiasasi yang akan di tancapkan oleh Sang Pemula. Dia meulai membentuk Sjarikat Prijaji. Membangun Mingguan ‘Medan’ yang berbahasa Melayu sebagai media cetak pribumi Pertama. Meski Sjarikat Prijaji tidak berjalan bahkan padam, namun ‘Medan’ Justru melambung hingga membentuk harian ‘Medan’. Kemunculan Boedi Oetomo menjadi pukulan besar baginya. Organisasi ini hanya menerima anggota berbangsa jawa dengan status keterpelajaran yang tinggi. Mingke melawan, bagaimana mungkin di Hindia yang Berbangsa-ganda dibuat organisasi yang hanya diperuntukkan pada bangsa Jawa? Dia tidak setuju.

Bersama teman-temannya yang masih bisa bekerjasama di Sjarikat Prijaji yang telah mati ia membangun kembali sebuah organisasi berbangsa ganda, dengan landasan keanggotan berdasar Agama dan Dagang secara luas. Sjarikat Dagang Islamiyah. Organisasi ini melambung jauh meninggalkan keprimitifan Boedi Oetomo. Mengadopsi teknik propaganda Boedi oetomo dengan alat yang lebih efektif yaitu harian ‘Medan’ hingga propagandis terpercaya yang langsung terjun ke seluruh penjuru tanah air, menyosialisasikan senjata pamungkas SDI yaitu Boycott. Mingke mempersenjatai anggotanya dengan Boycott ini untuk melawan kesewnang-wenangan aturan yang diterapkan Gubermen Hindia pada pribumi sambil terus membantu memecahkan permasalahan hukum yang di alami bangsanya.

Perjuangannya tak mudah, bersama istrinya yang baru, Prinses van kasiruta, soranga putri di daerah Maluku yang dibuang ke jawa bersama ayahnya, membendung serangan serangan dari kelompok indo, dan belanda yang tidak senang pada sepak terjang mereka. Hingga akhirnya....

Wednesday, September 4, 2013

Seribu Pulau Kita

Minggu, 1 Agustus 2013

Mungkin frase “Just Do It” yang sederhana ini berlaku pada kami. Tanpa perencanaan yang matang rencana itu langsung kami eksekusi. Jadilah kami berada di Kepulauan Seribu untuk menikmati keagungan-Nya melalui keindahan ciptaannya.

Adalah aku, hendra, riki, salim, dan gian melangkahkan kaki dengan ringan tanpa memusingkan apa yang bakal terjadi di depan jalan kami nanti. Asal sudah tau rute, ada uang cukup, apalagi gian sudah punya kenalan di sana- walaupun dia sendiri belum bertemu orangnya, tapi kenalan ini cukup membantu kami dalam mempersempit pengeluaran.

Kami berempat kecuali gian berangkat dari Dramaga, Bogor pukul 3 pagi. Sengaja sepagi itu memang untuk mengejar kapal penumpang dari muara angke menuju kep.Seribu pukul 07.00. Commuter Line berangkat dari Stasiun Bogor pukul 4.00 sampai di Jakarta Kota sekitar pukul 5.30, langsung saja agendany tentu mencari mesjid. Hehe..

Menunggu cukup lama untuk kehadiran gian di stasiun kota, eh ternyata dia langsung menuju muara angke. Jam pun sudah menunjukkan pukul 7.30, sudah tidak terkejar pikirku, yahh berharap saja masih ada kapal lainnya yang setia bertengger di dermaga. Kami pun bergegas menuju halte busway, mengambil rute Pluit, turun di halte Penjaringan, langsung naik ke angkot 01 trayek Grogol-M.Angke. singkat cerita sampailah kami di dermaga. Tidak ada kapal..... menunggu.... sekarang pukul 9.30.. huuuhhh....

Tidak bisa ditawar sepertinya, mencoba menumpang kapal nelayan tetapi beliau-beliau yang mulia itu memasang harga terlalu tinggi. Tidak! Lebih baik kami naik speed boat dari dermaga baru M.Angke 52.000 per orang berangkat pukul 12.30. hahaha.... ini sensasinya naik speed boat,  terbang beberapa inch dari permukan laut kemudian dihempaskan pada tegangan air hingga biasanya penumpang wanita sedikit histeris karenanya. Hahaha... firs time for me.

Ojek Kapal-Moda Transportasi antar pulau
Tujuan kami Pulau Pramuka. Sedangkan kenalan kami ada di pulau panggang. Gampang saja, ada ojek kapal di sini, 3.000 rupiah cukup, eits tapi ini hanya ada di kelurahan Pulau Panggang lho, tidak jamin di tempat lain seperti ini. Beberapa lama menikmati pemandangan di Pulau Pramuka, menikmati kehidupan masyarakatnya, anginnya, cuacanya, nyiurnya.... ahh.. aku ingin tinggal di sini lebih lama. Damai, Rukun. Bahkan kami disambut 3 ekor lumba – lumba yang melompat keatas permukaan laut ketika kami hampir merapat di Pulau Panggang. Sungguh pemandangan yang luar biasa langka, sedangkan penduduk sekitar saja ada yang belum pernah menyaksikannya, kami? Istimewa cuy.... :D

Sore hari di Pulau Panggang
Pulau panggang.... terlalu padat, tapi yang asik itu penduduknya sudah saling kenal dekat satu sama lain. Bagaimana tidak, yang ada hanya arah mata angin, timur barat selatan utara untuk menunnjukkan daerah tujuan kita di pulau.
T: mau pergi kemana?
J: ke timur
Begitulah biasanya kami dengar orang – orang berbicara. Sungguh bukan hanya wisata alam, berbaur dengan masyrakat dan merasakan kehidupan mereka dari dalam lebih lagi merupakan keistimewaan perjalanan ini.

Pembuatan Kerupuk Ikan di Pulau Panggang
Malam hari, bintang, deru mesin pesawat, deburan ombak, lampu-lampu nelayan di ujung horizon. Hmmm.... aku berbaring di dermaga menikmati itu semua. NikmatMu ya Rabb.

Sunset at the eastern side of Panggang Island

Kesokan harinya....
Saatnya bersenang senang. Pulau Karya, jaraknya sangat dekat dengan Pulau Panggang. Sepi, pantainya bersih.... tak ada siapa-siapa hanya kami. Bermainlah kita sobat. Haha :D

Banyak yang dilalaui... banyak pula jejak yang kita tinggal
Berpeluh, berpanas, emosi, hanya bumbu
Tak lain canda, kebahagiaan, senyum, tawa, adalah hidangannya
Suguhan dari Sang Pencipta untuk kami.... dari Indonesia... bukan dari mana-mana.
Untuk berfikir, mengagumi... dan bertambah takutlah kita pada-Nya
Segala taburan keindahan itu.... berserak di sini
Di Seribu Pulau ini.

Indahnya Pesisir Pulau Karya

Sudah sejauh ini 3 pulau kita lampaui. Pengeluaran pun tidak terlalu besar. Kulit sudah terbakar, saatnya kita pulang.

Ready for go home :)