Sunday, September 22, 2013

Untuk 24 September

Tau ada agenda apa di tgl 24 September? Mungkin hanya sangat kecil seprti atom ukuran jumlah manusia di Indonesia ini yang tahu. Pun begitu di pusat pengembangan disiplin ilmunya. Yah, di sini, di kampus pertanian, kenyataan pahit memang terpampang jelas. Bahwa ada sesuatu yang salah, ntah itu dari mana atau apa aku tak tau. Bukankah harusnya tanggal ini menjadi salah satu tanggal penting di kampus ini?

Oke, tanggal 24 September itu adalah Peringatan Hari Tani. Tanggal 24 September dipilih untuk memperingati tanggal keluarnya UU Pokok Agraria tahun 1960 yang menandai tentang betapa pentingnya peran petani. Sudah selama itu UU pokok agraria dikeluarkan, maka timbulah pertanyaan, sudah sejauh apakah petani kita tersejahterakan?

Kebijakan pemerintah setelah selama kurun waktu 7 dekade sejak ditetapkannya UU Pokok Agraria itu pun belum memberikan dampak yang positif bagi para pejuang kehidupan kita, para petani. Bahkan sejak mengakarnya kapitalisme dan liberalisme di bumi pertiwi ini, maka makin terperosoklah mereka kedalam lumpur sawah yang mereka ingin jadikan sumber penghidupan. Para petani hanya menjadi buruh di atas tanah nenek moyangnya. Yang berkuasa adalah para tuan tanah. Tidak cukup sampai di situ, harga pupuk, pestisida, dan bibit yang mahal tak sebanding dengan hasil yang akan mereka peroleh. Subsidi dari pemerintah tidak cukup besar untuk meringankan beban mereka, sedangkan harga hasil pertanian di pasaran begitu rendahnya. Gambaran bahwa pemerintah masih enggan melirik pada penyejahteraan rakyatnya, kebodohannya yang tidak taktis dalam investasi jangka panjang dengan keunggulan alamiah bangsa kita, atau bahkan hal ini terjadi karena para pejabat itu sudah menjual harga diri bangsa pada pemegang modal? Dan pemberi hutang pada negara kita yang toh nantinya diberatkan juga ke rakyat?

wahai bapak ibuku yang bersedih. Bersabarlah pak, bu. Aku tak tau kalian harus bersabar sampai kapan. Kalau kalian mau, mogok saja setahun. Cari penghidupan yang lain, tanam saja apapun untuk diri kalian, jangan dijual kemana - mana. Biar kami tau rasa betapa pentingnya keberadaan dan pekerjaan mu itu. Biar kami mengerti bahwa memang uang yang kami genggam ini tak bisa di makan.

Kenyataan pahit lagi, bahwa di kampus ku ini masih banyak teman – teman yang tau dan tak mau tau akan hari tani. Tidak usah lah pikirkan hari taninya. Yang lebih penting bukanlah tanggalnya tetapi para petani sesungguhnya. Bagaimana mungkin kita mahasiswa pertanian bisa melupakan mereka?
Apakah pelajaran yang kita terima ini terlalu berbau kapitalis dan liberal? Segala – galanya seperti bertuhankan modal, berorientasi terhadap keuntungan, menyerah pada mekanisme pasar. Dengan memperhalus kata – katanya menjadi nilai tambah produk, membeli komoditas dengan harga murah dari petani, memprosesnya atau dikatakan memberi nilai tambah pada komoditas, kemudian menjualnya dalam bentuk produk yang baik dan memiliki margin keutungan. Baiklah itu memang tidak dilarang, itu adalah suatu yang baik juga, apalagi mampu membuka lapangan pekerjaan baru. Tapi ketika bicara keterkaitannya tentang ketamakan manusia maka akan menjadi lain soal. Apakah akan ada rasa cukup bagimu meraup keuntungan – keuntungan itu? Aku rasa tidak. Kenapa tidak kau kembalikan lagi apa yang kau peroleh untuk kesejahteraan petani yang telah menyediakanmu bahan baku itu? Yang telah mencukupi kebutuhan gizimu sehari hari kawan?

Nah, pengembalian keuntungan inilah yang seharusnya ditekankan pada setiap mahasiswa apapun bidangnya. Biar melekatlah pada otak kita bahwa kita kuliah disini juga berkat peran mereka, kita disini juga dibiayai oleh negara yang uangnya berasal dari kalian juga para bapak ibu petani, dan rakyat secara keseluruhan. Jangan pernah sekali kali berkata bahwa kau kuliah di sini karena kemampuanmu dan kemampuan finansial orangtuamu, ini Perguaruan tinggi negeri bung. Pertanian pula. Harusnya kita menjadi frontliner, garis depan yang memperjuangkan hak petani. Mengembalikan rezeki kita dan sumbangan wajib ilmu kita pada mereka utnuk kesejahteraannya. Bukan untuk kantong pribadi kita yang takkan pernah penuh terisi. Tak usah bicara pemerataan kesejahteraan masyarakat jika di otakmu masih terpatri keselamatan diri sendiri. Cobalah peduli, kawan!

No comments:

Post a Comment