Saturday, November 23, 2013

Abstain

Sebagai orang yang mengerti arti pentingnya pemilihan pemimpin bagi organisasi ini aku paham aku harus memilih. Tapi sayangnya, aku memilih untuk abstain.


Orang abstain juga punya banyak alasan sebenarnya untuk tidak memilih calon yang ada.
Abstain beda dengan golput yang memang pada dasarnya sudah berencana untuk tidak hadir dalam pemungutan suara. Tapi apalah bedanya antara abstain dengan golput ketika dia sama-sama tidak memberikan suaranya untuk keterpilihan calon yang ada sebagai pemimpinnya? (disini keraguan ku untuk memilih abstain)

Alasan aku memilih abstain sebenarnya sangat egois. Sudah aku coba untuk menimbang-nimbang dari kedua pasang calon yang maju, mana yang akan aku pilih. Pun jelas sebenarnya kecenderungan pilihan itu kearah mana. Tapi masih belum cukup, ada banyak hal yang mengganjal di hati ku, banyak kritik ingin aku sampaikan sebenarnya dalam proses politik yang di jalankan oleh si calon yang akan aku pilih ini.

Tidak usahlah membahas calon yang satu lagi itu, sudah dari awal mengikuti jalannya pemilihan presiden ini aku tidak pernah menaruh simpati sedikitpun padanya. Even my brother can do bettter than him.

Yah, tapi ego ku belum bisa untuk menerima si calon yang potenisal itu. Dalam pandangan ku, orang seperti dia memang cakap dalam memimpin, punya visi yang jelas, dan bermoral yang sangat pas dijadikan sebagai contoh. Tapi ada yang kurang. Dia terlalu eksklusif, tidak down to earth, seharusnya seorang pemimpin bisa dekat pada setiap warna, hitam atau pun putih. Jika sudah berani maju sebagai pemimpin, maka dia sudah bukan berada dalam warnanya lagi, bukan hitam atau pun putih. Dia sudah berada di dalam koridor abu-abu yang harus bisa menampung setiap golongan. Dia bukan lagi milik golongannya, maka sudah sewajarnya lah dia sebelum melanjutkan niatnya sebagai calon pemimpin, dukungan harus ada juga dari kedua golongan tersebut, politik yang sehat. Bukan berarti dia harus menghilangkan jati dirinya. Bahkan jati dirinya lah yang harus bisa mengakomodasi kedua golongan itu sebagai warna khasnya.

Pada pemilihan raya sebelumnya, aku juga hampir saja melakukan hal yang sama untuk abstain. Tapi aku menaruh harapan pada pemimpin yang satu itu meskipun akhirnya dia tidak terpilih. Memang tim suksesnya adalah orang-orang yang bisa aku bilang sebagai perusak citra sang calon pemipin yang dibelanya. Aku tau, kepentingan dibalik timnyalah yang sebenarnya lebih rusak dan kotor, tapi tetap, aku menaruh harapan pada orang itu.
Meskipun suara ku tidak ada pada sang pemimpin yang menang, tatapi semua pertanyaan keraguanku terjawab olehnya. Dalam kerjanya selama setahun kurang yang aku rasa jauh melampaui ekspektasi banyak orang termasuk aku, dia telah membuktikan sosok pemimpin yang murni, pemimpin yang milik siapapun, pemimpin yang down to earth. Respect total buat dirinya.

Berbeda dengan tahun ini.

Secara umum yang ingin aku kritisi sebenarnya bukan hanya dia (calon pemimpin unggulan 2013), tetapi orang-orang yang ada di belakangnya juga. Mereka sebenarnya sudah sangat sempurna dalam kuatnya persahabatan diantara mereka, bisalah aku sebut sebagai kaum putih. Tetapi tidak pernah mencoba untuk mulai memahami apa saja yang menjadi penyebab mereka jauh dari kaum hitam, yang aku gambarkan sebagai orang yang selengehan, ilmu agama yang carut marut, penganut kebebasan dan sebagainya. Kental sekali sebenarnya nuansa permusuhan yang coba ditunjukkan oleh mereka. Cenderung menjauhi si kaum hitam, maka timbulah pelebaran gap itu.
Baiklah,  memang si kaum hitam itu pula mencoba mengasingkan diri terhadap si kaum putih. Tidak membuka diri dan pikiran serta terjebak dalam kebodohan yang mereka lakukan. Tapi apakah pantas bila si kaum putih untuk mejudge bahwa merka itu musuh? Memang tak terlontar dalam kata-kata, bahkan dari pandangan mata dan gerak-gerik saja aku tahu bahwa mereka jijik berdekatan dengan orang-orang seperti itu. Entah karena ada gap dalam penampilan ataukah karena perbedaan yang jauh dalam moral dan kelakuan. Tapi sekali lagi, apakah hal itu pantas dijadikan alasan?

Banyak sebenarnya yang mau aku ceritakan di sini, semua kebingungan-kebingungan yang aku alami. Keheranan yang tiada habisnya. 
Aku punya banyak teman dari kaum putih yang aku sebutkan tadi, banyak pula dari mereka yang care, membuka diri, bersahabat dengan kaum hitam juga, namun tidak pernah bermasalah. Begitu juga dengan teman-temanku si kaum hitam, memang mereka itu sulit untuk berubah dan benar-benar menganut kebebasan, tapi mereka tetap teman ku. Selama persahabatanku terjalin dengan mereka, tidak ada masalah yang berarti. Mereka tetap menghormati ku kalau mau beribadah. Bahkan mereka lah yang selalu bersedia mengajukan diri untuk membela ku (dalam hal kekerasan... hehe tidak usahlah berkelahi).

tapi seperti itulah adanya.

Sebenarnya memang terlalu egois menginginkan sosok pemimpin yang serba sempurna menurut pandangan subjektifku saja. Padahal aku tau semua orang itu tidak sempurna, apabila berfokus pada kekurangannya maka hanya itulah yang akan terlihat. Yah, semoga dia mampu membuktikannya, dan menjawab keraguanku ini, seperti terjawabnya keraguan ku pada presiden yang akan segera lengser tahun ini.

semoga saja.

Monday, November 18, 2013

Stones into School

Dari batu-batuan menjadi sekolah. Apa yang ada difikiran para pembaca ketika mendengar kalimat seperti itu? Mungkin proses pembuatan sekolah? Yaa...hampir mendekati lah ya. Hanya saja sekolah-sekolah yang didirikan itu berada di atap dunia. apa lagi itu atap dunia?

Greg Mortenson, seorang humanis yang memiliki kekuatan humanis itu dari ayahnya, mencoba menerjang sesuatu yang kita bisa bilang itu hampir tidak mungkin. Bagaimana bisa seseorang Amerika, pencinta hiking, bertubuh besar dengan muka lucunya berhasil membangun jaringan pendidikan pada wanita-wanita muslim di daerah-daerah yang luar biasa tak terjangkau? Berada di sudut bumi, katanya. Bahkan berada di atap dunia, disebutnya.


Buku ini adalah suatu sekuel yang dimulai dari buku “Three Cups of Tea”. Perjalanan Greg di buku ini sudah mencapai tataran yang luar biasa menakjubkan. Apakah kau pernah mendengar nama Celah Khyber? Lembah Charpurson? Koridor Wakhan? Bozai Gumbaz? Itulah daerah-daerah yang bahkan tidak diakui oleh negaranya sendiri. Bagaimana keadaan masyarakat yang tinggal di sana?

Daerah-daerah itu berada di sekitar perbatasan afghanistan dan pakistan, dan bagian perbatasan afghanistan-tajikistan. Bisakah kalian membayangkan daerah-daerah seperti apa itu? Daerah-daerah itu bahkan tak tertembus oleh alat transportasi modern apapun yang dimiliki manusia. Belum lagi hal yang berkaitan dengan Thaliban dan kesewenang-wengannya, pembantaian yang dilakukannya, penjarahan,. Sekali lagi, bagai mana keadaan masyarakat yang tinggal di sana?

Di buku ini dicertiakan betama mereka, anak-anak, wanita, pria, menginginkan suatu perubahan. Perubahan yang diawali oleh masuknya ilmu pengetahuan. Mereka sangat menginginkan hal tersebut. Tapi bagaimana mau mendirikan sekolah apabila bahan bangunan saja sulit sekali untuk masuk. Tidak usahlah dulu berbicara tentang bahan bangunan serta guru, bahkan pemerintah mereka sendiri saja tidak tau ada kehidupan di sana. Bukankah itu hal yang menyakitkan, tidak dianggap oleh dan diperhatikan oleh negaramu sendiri.

Dialah Greg, yang ditakdirkan menjadi penyalur hasrat mereka pada ilmu pengetahuan. Dia menghimpun dana dari masyarakat dunia, dipercaya atas keberhasilannya membangun sekolah-sekolah di pakistan, sekarang mulai melebarkan sayapnya menuju Afghanistan. Tentu tidaklah mudah apa yang dilakukannya. Bantuan dari sahabat-sahabatnya seperti Sarfraz Khan teman baiknya, Wohid Khan, Haji Ali gurunya di pakisatan, Abdul Rashid Khan sang pemimpin suku Kirghiz yang menginginkan daerahnya di Koridor Wakhan untuk didirikan sebuah sekolah, dan banyak lagi orang-orang mulia yang mengabdikan dirinya untuk pendidikan masyarat di sudut bumi itu.

Petualangannya bersama orang-orang luar biasa itu begitu indah untuk dibayangkan sebagai petualangan penantang maut yang bertujuan mulia, demi anak-anak yang kekurangan hak pendidikan mereka.
-THE LAST BEST PLACE-

Musso. Si Merah di Simpang Republik

Kami sadar bahwa kami bukan sejarawan. Kami bekerja tidak dengan perangkat metodologi yang kakau, melainkan dalam semacam permainan keseimbangan. Kami mempertimbangan ketepatan data, kepatuhan tenggat, dan keinginan mengangkat pesona sejarah ke permukaan”

Itulah sepenggal testimoni yang ditulisakan Redaktur Eksekutif majalah TEMPO ini dalam kata pengantarnya. Buku berbau ilmu jurnalistik investigasi yang dipadukan dengan hasrat pengungkapan sejarah menjadi sangat apik apabila dibahas dengan lugas dan dalam takaran yang pas. Kita tau selama ini banyak sekali hal yang berkaitan dengan peristiwa infiltrasi komunisme Indonesia yang telah dikubur dalam-dalam oleh pemerintahan Orde baru. Mungkin paham ini bagi mereka dianggap semacam Rahwana yang memiliki ajian Pancasona.

Munawar Muso, lahir pada tahun 1987 di kabupaten kediri Jawa timur. Musso yang sejak remaja telah aktif di sarekat Islam hingga pada saat umurnya cukup matang, ia masuk ke dalam Hotel prodeo Belanda. Menjadi anggota PKI, dimasukkan lagi ke dalam Hotel Prodeo yang setia menantinya. Perlawanan-perlawanan yang di lakukannya terhadap belanda bukanlah tanpa perncanaan. kehadirannya dalam  forum-forum internasional, rencananya untuk menemui Stalin untuk persetujuannya atas aksi pemberontakan PKI di Indonesia pada masa akhir penjajahan belanda membuat beliau menjadi tokoh PKI yang sangat disegani.
Licinnya pergerakan Musso dalam meloloskan diri dari setiap pemberontakan yang dilakukannya, baik perkelanaannya ke luar negeri hingga penggalangan diplomasi dengan Uni Soviet pun dilakukannya.

Pasca kemerdekaan Indonesia, Musso, sebagai  perumus “Jalan Baru untuk Republik Indonesia” telah mengubah haluan politik komunis Indonesia. Musso mengaggap pergerakan komunis Indonesia saat itu masih terlalu lembek. Menurut Musso, revolusi Indoensia bukanlah revolusi proletariat, melainkan revolusi borjuis, sehingga harus ada front yang dipimpin orang-orang proletariat.

Langsung saja kita lompat ke akhir perjalanannya. Peristiwa Madium meletus, operasi penumpasan pemberontakan hanya dilakukan dalam semalam. Hampir 200 simpatisan serta tokoh PKI ditangkap, pers yang berafiliasi dengan PKI dibredel. Banyak yang mengungkapkan bahwa aksi yang dilancarkan di Madiun tersebut begitu belum matangnya, sehingga mampu di sapu bersih dalam waktu singkat. Dalam waktu dua pekan tentara yang dipimpin oleh Panglima besar jendral Soedirman mampu kembali menguasai Madiun.
Maka berakhirlah cerita petualangan Musso. Ditembak mati oleh tentara yang memburunya di Ponorogo. Syahdan, membawa kesengsaraan lain bagi ribuan anggota partai Komunis Indonesia, ditangkp, dibui, bahkan para elitnya dieksekusi mati.

*Mencoba meresume buku yang telah lama dibaca, cukup sulit tanpa membolak-balik halamannya lagi, memilah-milah mana inti utama ceritanya. Sulit. Hehe... (setidaknya 1 janji telah terpenuhi)

Saturday, November 2, 2013

Sendiri?

"Dulu di perut Ibu sendiri, nanti mati juga sendirian, jadi hidup ini pun sebenarnya harus ditempuh sendirian."


Kalimat itu hadir dari seorang teman, mengatakan pada ku untuk mencamkannya. Dahulunya aku pikir itu tidak akan berlaku. Entah terlalu naif atau apa, tapi aku percaya manusia itu makhluk sosial. Tak bisa lepas dari pertolongan sesama. Ternyata pikiranku memang tidak salah, tetapi kata2nya juga benar. Aku pikir kedua premis ini saling melengkapi. Hidup sendiri bukan berarti tanpa pertolongan orang lain, bersosialisasi dan tolong-menolong tak lantas mengabaikan kewajiban serta hak-hak pribadi.

Aku mendapatkan pelajaran berharga beberapa hari ini.

Tak usah terlalu berharap pada orang lain, termasuk sahabat sendiri. Khususnya yang menyangkut persoalan pribadi. Kalau ada yang membantu tentu bersyukurlah pada yang Maha Menguasai hati karena menggerakkan sahabat kita itu untuk membantu. Tak lupa berterimakasih pada sang sahabat. Jika tidak, seharusnya kita bisa berjuang sendiri, seharusnya kita juga bisa hidup sendirian. Jangan pernah menyalahkan orang yang tidak bersedia membantu kita, sekali lagi, jangan terlalu berharap pada bantuan orang lain. Berharaplah pada Yang Maha Kuasa, karena Dialah yang menguasai segala sesuatunya. Jika Dia mengizinkan seseorang untuk membantu kita, maka tanpa diminta pun pasti ada saja bantuan dariNya.

Hal yang terpenting adalah menjemput pertolongan itu. Banyak-banyak menolong orang lain dan berdoa. Sepertinya itu, aku tak tau lagi hal yang lain selain itu.


An here I go again on my own
Goin down the only road Ive ever known,
Like a drifter I was born to walk alone
An Ive made up my mind
I aint wasting no more time - Whitesnake 
(Here I go Again-1987)

Bogor, 2 November 00.00
*baru di posting pagi-ga punya koneksi