Monday, November 18, 2013

Musso. Si Merah di Simpang Republik

Kami sadar bahwa kami bukan sejarawan. Kami bekerja tidak dengan perangkat metodologi yang kakau, melainkan dalam semacam permainan keseimbangan. Kami mempertimbangan ketepatan data, kepatuhan tenggat, dan keinginan mengangkat pesona sejarah ke permukaan”

Itulah sepenggal testimoni yang ditulisakan Redaktur Eksekutif majalah TEMPO ini dalam kata pengantarnya. Buku berbau ilmu jurnalistik investigasi yang dipadukan dengan hasrat pengungkapan sejarah menjadi sangat apik apabila dibahas dengan lugas dan dalam takaran yang pas. Kita tau selama ini banyak sekali hal yang berkaitan dengan peristiwa infiltrasi komunisme Indonesia yang telah dikubur dalam-dalam oleh pemerintahan Orde baru. Mungkin paham ini bagi mereka dianggap semacam Rahwana yang memiliki ajian Pancasona.

Munawar Muso, lahir pada tahun 1987 di kabupaten kediri Jawa timur. Musso yang sejak remaja telah aktif di sarekat Islam hingga pada saat umurnya cukup matang, ia masuk ke dalam Hotel prodeo Belanda. Menjadi anggota PKI, dimasukkan lagi ke dalam Hotel Prodeo yang setia menantinya. Perlawanan-perlawanan yang di lakukannya terhadap belanda bukanlah tanpa perncanaan. kehadirannya dalam  forum-forum internasional, rencananya untuk menemui Stalin untuk persetujuannya atas aksi pemberontakan PKI di Indonesia pada masa akhir penjajahan belanda membuat beliau menjadi tokoh PKI yang sangat disegani.
Licinnya pergerakan Musso dalam meloloskan diri dari setiap pemberontakan yang dilakukannya, baik perkelanaannya ke luar negeri hingga penggalangan diplomasi dengan Uni Soviet pun dilakukannya.

Pasca kemerdekaan Indonesia, Musso, sebagai  perumus “Jalan Baru untuk Republik Indonesia” telah mengubah haluan politik komunis Indonesia. Musso mengaggap pergerakan komunis Indonesia saat itu masih terlalu lembek. Menurut Musso, revolusi Indoensia bukanlah revolusi proletariat, melainkan revolusi borjuis, sehingga harus ada front yang dipimpin orang-orang proletariat.

Langsung saja kita lompat ke akhir perjalanannya. Peristiwa Madium meletus, operasi penumpasan pemberontakan hanya dilakukan dalam semalam. Hampir 200 simpatisan serta tokoh PKI ditangkap, pers yang berafiliasi dengan PKI dibredel. Banyak yang mengungkapkan bahwa aksi yang dilancarkan di Madiun tersebut begitu belum matangnya, sehingga mampu di sapu bersih dalam waktu singkat. Dalam waktu dua pekan tentara yang dipimpin oleh Panglima besar jendral Soedirman mampu kembali menguasai Madiun.
Maka berakhirlah cerita petualangan Musso. Ditembak mati oleh tentara yang memburunya di Ponorogo. Syahdan, membawa kesengsaraan lain bagi ribuan anggota partai Komunis Indonesia, ditangkp, dibui, bahkan para elitnya dieksekusi mati.

*Mencoba meresume buku yang telah lama dibaca, cukup sulit tanpa membolak-balik halamannya lagi, memilah-milah mana inti utama ceritanya. Sulit. Hehe... (setidaknya 1 janji telah terpenuhi)

No comments:

Post a Comment