Sebagai orang yang mengerti arti pentingnya pemilihan
pemimpin bagi organisasi ini aku paham aku harus memilih. Tapi sayangnya, aku
memilih untuk abstain.
Orang abstain juga punya banyak alasan sebenarnya untuk
tidak memilih calon yang ada.
Abstain beda dengan golput yang memang pada dasarnya sudah
berencana untuk tidak hadir dalam pemungutan suara. Tapi apalah bedanya antara
abstain dengan golput ketika dia sama-sama tidak memberikan suaranya untuk
keterpilihan calon yang ada sebagai pemimpinnya? (disini keraguan ku untuk memilih abstain)
Alasan aku memilih abstain sebenarnya sangat egois. Sudah
aku coba untuk menimbang-nimbang dari kedua pasang calon yang maju, mana yang
akan aku pilih. Pun jelas sebenarnya kecenderungan pilihan itu kearah mana.
Tapi masih belum cukup, ada banyak hal yang mengganjal di hati ku, banyak
kritik ingin aku sampaikan sebenarnya dalam proses politik yang di jalankan
oleh si calon yang akan aku pilih ini.
Tidak usahlah membahas calon yang satu lagi itu, sudah dari
awal mengikuti jalannya pemilihan presiden ini aku tidak pernah menaruh simpati
sedikitpun padanya. Even my brother can do bettter than him.
Yah, tapi ego ku belum bisa untuk menerima si calon yang
potenisal itu. Dalam pandangan ku, orang seperti dia memang cakap dalam
memimpin, punya visi yang jelas, dan bermoral yang sangat pas dijadikan sebagai
contoh. Tapi ada yang kurang. Dia terlalu eksklusif, tidak down to earth, seharusnya seorang pemimpin bisa dekat pada setiap
warna, hitam atau pun putih. Jika sudah berani maju sebagai pemimpin, maka dia
sudah bukan berada dalam warnanya lagi, bukan hitam atau pun putih. Dia sudah
berada di dalam koridor abu-abu yang harus bisa menampung setiap golongan. Dia
bukan lagi milik golongannya, maka sudah sewajarnya lah dia sebelum melanjutkan
niatnya sebagai calon pemimpin, dukungan harus ada juga dari kedua golongan
tersebut, politik yang sehat. Bukan berarti dia harus menghilangkan jati
dirinya. Bahkan jati dirinya lah yang harus bisa mengakomodasi kedua golongan
itu sebagai warna khasnya.
Pada pemilihan raya sebelumnya, aku juga hampir saja
melakukan hal yang sama untuk abstain. Tapi aku menaruh harapan pada pemimpin
yang satu itu meskipun akhirnya dia tidak terpilih. Memang tim suksesnya adalah
orang-orang yang bisa aku bilang sebagai perusak citra sang calon pemipin yang
dibelanya. Aku tau, kepentingan dibalik timnyalah yang sebenarnya lebih rusak dan kotor, tapi tetap, aku menaruh harapan pada orang itu.
Meskipun suara ku tidak ada pada sang pemimpin yang menang,
tatapi semua pertanyaan keraguanku terjawab olehnya. Dalam kerjanya selama
setahun kurang yang aku rasa jauh melampaui ekspektasi banyak orang termasuk
aku, dia telah membuktikan sosok pemimpin yang murni, pemimpin yang milik
siapapun, pemimpin yang down to earth. Respect total buat dirinya.
Berbeda dengan tahun ini.
Secara umum yang ingin aku kritisi sebenarnya bukan hanya dia
(calon pemimpin unggulan 2013), tetapi orang-orang yang ada di belakangnya
juga. Mereka sebenarnya sudah sangat sempurna dalam kuatnya persahabatan
diantara mereka, bisalah aku sebut sebagai kaum putih. Tetapi tidak pernah
mencoba untuk mulai memahami apa saja yang menjadi penyebab mereka jauh dari
kaum hitam, yang aku gambarkan sebagai orang yang selengehan, ilmu agama yang
carut marut, penganut kebebasan dan sebagainya. Kental sekali sebenarnya
nuansa permusuhan yang coba ditunjukkan oleh mereka. Cenderung menjauhi si kaum
hitam, maka timbulah pelebaran gap itu.
Baiklah, memang si
kaum hitam itu pula mencoba mengasingkan diri terhadap si kaum putih. Tidak
membuka diri dan pikiran serta terjebak dalam kebodohan yang mereka lakukan.
Tapi apakah pantas bila si kaum putih untuk mejudge bahwa merka itu musuh?
Memang tak terlontar dalam kata-kata, bahkan dari pandangan mata dan
gerak-gerik saja aku tahu bahwa mereka jijik berdekatan dengan orang-orang
seperti itu. Entah karena ada gap dalam penampilan ataukah karena perbedaan
yang jauh dalam moral dan kelakuan. Tapi sekali lagi, apakah hal itu pantas
dijadikan alasan?
Banyak sebenarnya yang mau aku ceritakan di sini, semua
kebingungan-kebingungan yang aku alami. Keheranan yang tiada habisnya.
Aku
punya banyak teman dari kaum putih yang aku sebutkan tadi, banyak pula dari
mereka yang care, membuka diri, bersahabat dengan kaum hitam juga, namun tidak pernah bermasalah. Begitu juga
dengan teman-temanku si kaum hitam, memang mereka itu sulit untuk berubah dan
benar-benar menganut kebebasan, tapi mereka tetap teman ku. Selama
persahabatanku terjalin dengan mereka, tidak ada masalah yang berarti. Mereka
tetap menghormati ku kalau mau beribadah. Bahkan mereka lah yang selalu bersedia mengajukan
diri untuk membela ku (dalam hal kekerasan... hehe tidak usahlah berkelahi).
tapi seperti itulah adanya.
Sebenarnya memang terlalu egois menginginkan sosok pemimpin
yang serba sempurna menurut pandangan subjektifku saja. Padahal aku tau semua
orang itu tidak sempurna, apabila berfokus pada kekurangannya maka hanya itulah
yang akan terlihat. Yah, semoga dia mampu membuktikannya, dan menjawab
keraguanku ini, seperti terjawabnya keraguan ku pada presiden yang akan segera
lengser tahun ini.
semoga saja.