Sudah hampir 2 tahun penuh sejak menginjakkan kaki di kota
hujan ini, tetapi kejengkelan itu sudah sejak lama meningkat menjadi rasa muak
yang berlebihan. Tentang masalah apa sih sebenarnya? Kalau kita mau
memperhatikan, mengamati, dan merasakan hal – hal kecil setiap harinya tentu
kita akan mengerti, ini adalah persoalan sifat yang ditunjukkan masyarakat di
jalanan ketika berkendara.
Seperti ini gambarannya, aku heran kenapa orang – orang
disini memacu kendaraannya dengan kecepatan yang terbilang tinggi di jalanan
ramai, ketika pagi hari, ketika disitu juga banyak pejalan kaki lalu –
lalang?Pengamatan ini aku lakukan di daerah sekitar kampus. Aku tau, pasti
banyak alasan yang melatarbelakangi hal itu. Ada yang bilang “biar ga terlambat
kerja dek”, “jaraknya jauh, jadi bisa menghemat waktu dengan kecepatan tinggi”,
“biar ga kejebak macet”. Iya memang, alasan mereka itu masuk akal, tapi apakah
harus mengorbankan hak pengguna jalan lain, khususnya pejalan kaki? Kalau
diamati lebih dalam lagi, kendaraan yang mereka pacu dengan kencang, seringkali
tidak mengindahkan adanya pejalan kaki, atau motor yang hendak menyebrang
jalan, sehingga ketika laju kendaraan di jalur utama yang cepat tidak bisa
dibendung maka jadilah kami para pejalan kaki tertindas, sulit dan mengerikan
untuk menyebrang pada kondisi seperti itu. Kenapa mereka sedikitpun tidak
menghargai keberadaan pengguna jalan lain?
Lain halnya dengan angkot – angkot yang seperti tidak
menghiraukan hal lain selain setoran dan ini sering kali membuat kepalaku
panas. Musuh terbesar para pengguna sepeda motor adalah kendaraan ini. Kenapa?
Karena mereka sering kali berhenti mendadak, tidak memminggirkan angkotnya,
tetapi malah memberhentikannya di tengah jalan. Bahkan mungkin angkot adalah
musuh terbesar setiap kendaraan lain yang ingin melintas ketika jalur mulai
ramai di pagi hari atau sore hari. Urusan mereka menunggu pelanggan (ngetem) di simpang dan badan jalan tidak
bisa dipungkiri lagi sebagai penyebab utama kemacetan. Sebenarnya tidak terlalu
menjadi masalah ketika yang ngetem hanya 2 atau 3 angkot saja, masalahnya
volume angkot yang bertengger di badan jalan sudah melebihi batas kewajaran.
Polisi pun sudah tidak mampu untuk menertibkan ke-dogolan otak para supir angkot itu untuk tidak ngetem di badan
jalan. Untuk apa ditertibkan sebenarnya kalau tddak ada solusi yang bisa
diberikan pada mereka?
Sialnya, jalanan bogor sebenarnya tidak mendukung keberadaan
para angkot ini. Coba lihat saja lebar jalan yang hanya bisa dimuat untuk 2
lajur tetapi dipaksakan untuk diperlebar secara tanggung. Satu lajur lebarnya menjadi
sekitar 1 ½ badan mobil. Maka jadilah penumpukan kendaraan yang tidak sabar
untuk mengantri di kemacetan. Kebanyakan dari mereka yang tidak sabar, tidak
menyadarinya bahwa menyalip kendaraan didepannya ketika macet, membuat lajur
yang sempit menjadi tumpang tindih, malah akan memperparah kemacetan dan
memperlama mereka untuk berada di jalanan. Miris sekali melihat orang yang mematuhi
aturan, mengantri dibelakang dengan sabar, tetapi hak – haknyalah yang justru
tergilas.
Fenomena ini tentu tidak hanya terjadi di kota bogor saja,
ketertiban pengguna jalan yang terlampau lemah juga terjadi di kota – kota lain
yang padat penduduknya. Dari sini sebenarnya dapat dilihat bagaimana sifat
individualis, sifat egoisme telah merasuk ke dalam sel – sel terkecil
masyarakat kita. Menghormati hak orang lain kan tindakan mulia kan? Iya kan?
Tetapi kenapa kita sulit melakukannya? Masa para supir angkot hanya
mementingkan kejar setoran saja sih? Bagaimana dengan orang lain yang yang
kesal akibat perbuatannya membuat jalan menjadi macet? Apa para pengendara
mobil dan motor yang lain tidak bisa memperlambat lajunya ketika melihat orang
yang hendak menyebrang?
Mungkin aku melihat kota ini dengan perbandingan kota ku
yang kecil, laju pergerakan masyarakatnya tidak secepat disini. Mamang salah
juga. Namun keadaan kotaku yang lebih
banyak pengendara memacu kendaraannya dengan lambat, menikmati keadaan kota
sambil berkendara, menghentikan laju kendaraannya ketika ada pejalan kaki yang
ingin menyebrang, atau memberi kesempatan bagi yang ingin cepat untuk
mendahului merka yang berjalan lambat. Sungguh damai bukan kota ku? Beda memang
kondisi kotanya. Beda memang kebutuhannya akan mobilisasi. Tapi aku mengagumi
sikap mereka yang arif ketika berada di jalanan. Tidak seperti pengeang ndara
kelihatan terbirit - birit dikejar setan.
No comments:
Post a Comment