Wednesday, May 22, 2013

Jalanan Setan


Sudah hampir 2 tahun penuh sejak menginjakkan kaki di kota hujan ini, tetapi kejengkelan itu sudah sejak lama meningkat menjadi rasa muak yang berlebihan. Tentang masalah apa sih sebenarnya? Kalau kita mau memperhatikan, mengamati, dan merasakan hal – hal kecil setiap harinya tentu kita akan mengerti, ini adalah persoalan sifat yang ditunjukkan masyarakat di jalanan ketika berkendara.

Seperti ini gambarannya, aku heran kenapa orang – orang disini memacu kendaraannya dengan kecepatan yang terbilang tinggi di jalanan ramai, ketika pagi hari, ketika disitu juga banyak pejalan kaki lalu – lalang?Pengamatan ini aku lakukan di daerah sekitar kampus. Aku tau, pasti banyak alasan yang melatarbelakangi hal itu. Ada yang bilang “biar ga terlambat kerja dek”, “jaraknya jauh, jadi bisa menghemat waktu dengan kecepatan tinggi”, “biar ga kejebak macet”. Iya memang, alasan mereka itu masuk akal, tapi apakah harus mengorbankan hak pengguna jalan lain, khususnya pejalan kaki? Kalau diamati lebih dalam lagi, kendaraan yang mereka pacu dengan kencang, seringkali tidak mengindahkan adanya pejalan kaki, atau motor yang hendak menyebrang jalan, sehingga ketika laju kendaraan di jalur utama yang cepat tidak bisa dibendung maka jadilah kami para pejalan kaki tertindas, sulit dan mengerikan untuk menyebrang pada kondisi seperti itu. Kenapa mereka sedikitpun tidak menghargai keberadaan pengguna jalan lain?

Lain halnya dengan angkot – angkot yang seperti tidak menghiraukan hal lain selain setoran dan ini sering kali membuat kepalaku panas. Musuh terbesar para pengguna sepeda motor adalah kendaraan ini. Kenapa? Karena mereka sering kali berhenti mendadak, tidak memminggirkan angkotnya, tetapi malah memberhentikannya di tengah jalan. Bahkan mungkin angkot adalah musuh terbesar setiap kendaraan lain yang ingin melintas ketika jalur mulai ramai di pagi hari atau sore hari. Urusan mereka menunggu pelanggan (ngetem) di simpang dan badan jalan tidak bisa dipungkiri lagi sebagai penyebab utama kemacetan. Sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah ketika yang ngetem hanya 2 atau 3 angkot saja, masalahnya volume angkot yang bertengger di badan jalan sudah melebihi batas kewajaran. Polisi pun sudah tidak mampu untuk menertibkan ke-dogolan otak para supir angkot itu untuk tidak ngetem di badan jalan. Untuk apa ditertibkan sebenarnya kalau tddak ada solusi yang bisa diberikan pada mereka?

Sialnya, jalanan bogor sebenarnya tidak mendukung keberadaan para angkot ini. Coba lihat saja lebar jalan yang hanya bisa dimuat untuk 2 lajur tetapi dipaksakan untuk diperlebar secara tanggung. Satu lajur lebarnya menjadi sekitar 1 ½ badan mobil. Maka jadilah penumpukan kendaraan yang tidak sabar untuk mengantri di kemacetan. Kebanyakan dari mereka yang tidak sabar, tidak menyadarinya bahwa menyalip kendaraan didepannya ketika macet, membuat lajur yang sempit menjadi tumpang tindih, malah akan memperparah kemacetan dan memperlama mereka untuk berada di jalanan. Miris sekali melihat orang yang mematuhi aturan, mengantri dibelakang dengan sabar, tetapi hak – haknyalah yang justru tergilas.

Fenomena ini tentu tidak hanya terjadi di kota bogor saja, ketertiban pengguna jalan yang terlampau lemah juga terjadi di kota – kota lain yang padat penduduknya. Dari sini sebenarnya dapat dilihat bagaimana sifat individualis, sifat egoisme telah merasuk ke dalam sel – sel terkecil masyarakat kita. Menghormati hak orang lain kan tindakan mulia kan? Iya kan? Tetapi kenapa kita sulit melakukannya? Masa para supir angkot hanya mementingkan kejar setoran saja sih? Bagaimana dengan orang lain yang yang kesal akibat perbuatannya membuat jalan menjadi macet? Apa para pengendara mobil dan motor yang lain tidak bisa memperlambat lajunya ketika melihat orang yang hendak menyebrang?

Mungkin aku melihat kota ini dengan perbandingan kota ku yang kecil, laju pergerakan masyarakatnya tidak secepat disini. Mamang salah juga.  Namun keadaan kotaku yang lebih banyak pengendara memacu kendaraannya dengan lambat, menikmati keadaan kota sambil berkendara, menghentikan laju kendaraannya ketika ada pejalan kaki yang ingin menyebrang, atau memberi kesempatan bagi yang ingin cepat untuk mendahului merka yang berjalan lambat. Sungguh damai bukan kota ku? Beda memang kondisi kotanya. Beda memang kebutuhannya akan mobilisasi. Tapi aku mengagumi sikap mereka yang arif ketika berada di jalanan. Tidak seperti pengeang ndara kelihatan terbirit - birit dikejar setan.

Yah, semoga saja ada pembaharuan yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini baik dari pemerintah, maupun masyarakatnya. Hidup Rakyat Indonesia!

No comments:

Post a Comment