Thursday, May 16, 2013

Indonesian's Epic Tetralogy (Part 1)

Siapa yang tidak kenal dengan Tetralogi Buru yang di bukukan dari tulisan maupun lisan oleh seorang maestro Indonesia, yap. Pramoedya Ananta Toer. Saya yakin sebenarnya masih banyak kalangan yang mengaku terpelajar tetapi tidak mengetahui karya besar anak bangsa ini.
Bahkan seharusnya, karya - karya beliau dijadikan bacaan wajib, setidaknya di sekolah menengah atas lah, seharusnya, buku - bukunya juga tersedia di setiap perpustakaan di negeri ini. Miris sekali rasanya, melihat kampusku tidak memiliki koleksi hasil karya beliau.

Selama 10 hari penuh, aku baru bisa menyelesaikan dua bukunya, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.




Bumi Manusia

Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana;biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput

Ceritanya berkisah pada seorang pemuda yang bernama Minke. Latar suasana yang dibangun dalam cerita ini yaitu pada tahun 1890-an, masa transisi abad 19 ke abad 20 di daerah Jawa, tepatnya Surabaya. Minke yang mendapat kesempatan bersekolah di HBS-sekolah belanda-karena ayahnya adalah seorang bupati di suatu daerah, menjadikan dia dekan dengan ilmu, tata cara, dan daya pikir orang – orang eropa. Saya tidak akan menceritakan dengan jelas siapa-siapa saja tokoh yang masuk dan keluar di dalam kisah seorang Minke ini. Bagian yang paling utama adalah kisah cintanya dengan seorang gadis, Annelies Mellema, peranakan dari bapak Belanda bernama Herman Mellema yang memiliki perusahaan pertanian Boerderij Buitenzorg dengan seorang Gundik yang bernama sanikem, atau lebih dikenal dengan Nyai ontosoroh.
Nyai Ontosoroh disini juga memainkan peranan penting, tidak berskolah namun memiliki pengetahuan yang begitu luas. Hanya seorang gundik namun mengenal kesopanan dan tata krama yang baik. Pemikirannya luar biasa untuk seorang wanita di zamannya. Disini Pram menggambarkan bahwa dengan belajar dan mencari ilmu dimanapun akan sangat berguna untuk mengubah nasib.

Kisah percintaan Annelies dan Minke terhalang ketika anak sah tuan Mellema meminta haknya sebagai anak yang ditinggalkan bersama
dengan ibunya di Netherland.
Sangat panjang dan sulit perjuangan yang harus ditempuh Minke dan sahabat-sahabatnya untuk mempertahankan Annelies yang harus dipisahkan dengan Minke ihwal perwalian yang diharuskan oleh hukum Netherland. Pram menuliskan kisah ini sangat jelas dan mendetail dengan gaya bahasanya yang khas, mendeskripsikan sesuatunya sampai sebenar-benarnya bagaikan saya hadir menyaksikan kesusahan yang dialami Annelies dan suaminya Minke.

Silahkan saja teman – teman membacanya. Entahlah, lebih baik menurut saya dibilang saja WAJIB DIBACA oleh setiap orang yang mengaku terpelajar. Tidak, tidak, ini seharusnya menjadi bacaan wajib setiap rakyat Indonesia. Biar mereka mengenal, dan mengenang, bahwa kehilangan seorang Pramoedya Ananta Toer, adalah kehilangan besar bagi Dunia.


Anak Semua Bangsa

Jangan remehkan satu orang, apalagi dua, karena satu pribadi pun mengandung dalam dirinya kemungkinan tanpa batas

Di buku kedua ini dicertakan tentang kepergian Annelies ke Netherland, hingga harus menghembuskan nafas terkhirnya disana, hanya beberapa hari setelah ia berlabuh.

Tak ayal hal itu sangat memukul Nyai dan Minke beserta para sahabatnya. Singkat cerita lagi, nyai dan Minke pergi ke kediaman nyai dulu sebelum ia dijadikan gundik. Disinilah pokok permasalahan pada buku ini. Minke harus menyadari bahwa ilmu yang dimiliknya hendaknya digunakan untuk membantu bangsanya sendiri. Minke sendiri telah banyak menulis di surat kabar dengan bahasa belanda, namun tidak pernah dengan bahasa bangsanya. Disini ia harus berjibaku dengan beragam pemikiran yang dari semua sisi menekannya untuk bisa melihat kenyataan bahwa bangsanya harus bisa hidup mandiri tanpa adanya campur tangan dari belanda. Banyak berkaca dari bangsa jepang yang telah disejajarkan dengan bangsa eropa, serta pemberontakan Jose Rizal kepada kolonial spanyol di daerahnya, Filipina.

Namun kisah mengenai dirinya dan keluarganya di Wonokromo belum juga terhapus benar. Anak sah Herman Mellema masih ingin untuk mengambil alih perusahaan yang telah di bangun oleh nyai selama ini. Persidangan tentang kematian Tuan Mellema pun tak kunjung selesai.

Buku ini menceritakan bahwa kondisi saat itu merupakan titik balik yang ditempuh oleh kalangan terpelajar bangsa untuk bisa berdiri sendiri, menghapuskan penjajahan dari bumi pertiwi, berdiri, dan menyejajarkan diri mereka dengan bangsa kulit putih yang selama ini telah merongrong 300 tahun.

Masih ada 2 buku lagi yang belum sempat aku baca. Semoga di kesempatan berikutnya, resume 2 buku epic tetralogy lainnya yaitu Jejak Langkah dan Rumah Kaca, bisa aku sajikan dengan lebih baik. Semoga timbul minat para pemuda bangsa ini untuk lebih rajin lagi membaca, mencermati karya – karya luar biasa anak-anak bangsa ini. Semoga karya yang ciptakan ini menjadi amal yang tiada putusnya bagi mu, Pramoedya Ananta Toer. Semoga damai disisi-Nya.
Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925 – 30 April 2006) 

No comments:

Post a Comment