Kepada seluruh seman – teman mahasiswa, para pejuang
intelektual muda, tahukah kalian isu yang sedang berkembang tentang pendidikan
tinggi kita? Aku harap kalian sudah lebih tau dari pada aku ya. Sebenarnya isu
ini sudah cukup lama berkutat tiada habisnya. Diawali dari pengajuan judicial review oleh mahasiswa dari
Sumatera barat yang memiliki anggapan bahwa UU No.12 tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi masih memiliki unsur komersialisasi universitas yang ujungnya
akan membuat uang kuliah menjadi lebih mahal dan tidak terjangkau bagi rakyat
menengah ke bawah.
Sedikit menelisik kebelakang tentang bagaimana keadaan
pendidikan tinggi sebelum dikeluarkannya UU PT ini. Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN)
merupakan satu bentuk badan hukum Perguruan Tinggi di Indonesia yang telah
dibentuk melalui PP Nomor 152-155 Tahun 2000 tentang pembentukan perguruan
tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) yakni Universitas Indonesia (UI),
Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Institut
Teknik Bandung (ITB), Univeritas Airlangga (Unair), Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI), dan Universitas Sumatera Utara (USU). Pada tahun 2010 telah
dihapuskan golongan perguruan tinggi BHMN atau badan hukum milik negara yang
tujuan awalnya adalah untuk membantu perguruan tinggi memprivatisasi dirinya
sejalan dengan dikeluarkannya UU BHP. UU BHP memberikana amanat bahwa
penyeragaman lembaga pendidikan perlu dilakuakan, tidak hanya PT-BHMN diatas,
namun seluruh aspek pendidikan hingga ke jenjang sekolah dasar. UU Badan hukum
Pendidikan (BHP) yang umurnya sangat singkat ini di-ultra petitum oleh Mahkamah Konstitusi. “MK menilai, UU BHP
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga mengabulkan secara keseluruhan semua
permohonan pemohon,” tegas Ketua MK Mahfud MD (31/3/2010). Amar keputusan MK
antara lain:
- Tidak boleh menyeragamkan bentuk lembaga pendidikan
- Pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab keuangan terhadap lembaga pendidikan
- Tidak terjadi liberalisasi dan komersialisasi
Selama tidak adanya UU yang menaungi pendidikan tinggi
selepas dimusnahkannya UU BHP ini, perguruan tinggi memakai aturan PP 154 yang
umurnya hanya 3 tahun sejak ditetapkan yaitu pada bulan September 2010 dan akan
segera berakhir di bulan September 2013, sementara itu UU PT sedang
diperkarakan di MK yang tak kunjung terlihat adanya putusan.
Sebenarnya seperti apa UU PT itu? Apakah benar Undang –
Undng ini masih bobrok sama dengan pendahulunya? Ataukah sebenarnya sudah
sesuai UUD 1945, namun pengaju PK ke MK masih salah menginterpretasikannya?
Sebenarnya yang terutama dipermasalahkan yaitu adanya
redaksi “Uang Kuliah Tunggal” atau UKT yang muncul dalam UU PT ini. Ada dua
interpretasi yang muncul dalam redaksi ini. Pertama, uang kuliah disamaratakan
nominalnya seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Kedua, penyebaran atau
pendistribusian uang kuliah ke setiap semester tanpa adanya uang pangkal ketika
mahasiswa pertama kali masuk perguruan tinggi.
Untuk kampusku sendiri, masalah ini sudah dari jauh hari
terpecahkan. Sistem kami menganut pembagian standar uang kuliah menjadi 8
cluster. Pembagian ini dilakukan berdasarkan tingkat penghasilan orang tua. Dari
kedelapan cluster ini akan terjadi sistem subsidi silang, dimana si kaya akan
membayarkan jumlah uang kuliah lebih besar sesuai penghasilan orang tuanya,
sedang kan yang kurang mampu membayar lebih sedikt. Namun, kekurangan
pembayaran oleh orang yang kurang mampu akan disubsidi dari kelebihan
pembayaran mahasiswa yang mampu tanpa adanya diskriminasi perlakuan apapun. Sistem
ini menjadi role model untuk pembiayaan perguruan tinggi di Indonesia. Dengan
adanya uang kuliah tunggal ini, IPB akan melaksanakan ketentuan tersebut dengan
cara membagi rata nilai yang harus dibayarkan mahasiswa kedalam 8 semester,
tanpa ada uang pangkal di tahun pertama yang notabene memberatkan mahasiswa di
awal, sekaligus juga tetap menerapkan sistem 8 cluster subsidi silang yang
sudah teruji sangat ampuh.
Sementara itu, melalui UU PT ini, pemerintah tidak bisa
lepas tangan terhadap perguruan tinggi. Pemerintah akan menggelontorkan dana
melalui Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang besarnya malah
mencapai krang lebih 40 % dari kebutuhan dana perguruan tinggi. Jumlah tersebut
terbilang sangat besar yang malah menjadi sumber dana terbesar bagi perguruan
tinggi negeri, IPB contohnya. Hal ini juga memenuhi amar keputusan MK yang
mengamanatkan bahwa pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab terhadap
keuangan lembaga pendidikan.
Itulah sedikit gambaran permasalahan kampus saat ini, semoga
saja para petinggi kampus kita selalu open mind terhadapa sesuatu yang baik,
tidak selalu mempertahankan kebiasaan lama yang merugikan dengan alasan apapun.
Begitu pula untuk mahasiswa sahabat – sahabaku, para pejuang intelektual. Kita harus
lebih cerdas menafsirkan sesuatu, melihatnya dari berbagai sudut.
Semoga kita para pemuda - yang akan menglami demographic
dividen terbesar, sementara itu negara – negara maju mengalami aging society - bisa
terdidik dengan baik sampai ke jenjang perguruan tinggi. Inilah cita – cita kita
untuk melejitkan bangsa kita yang sudah tertinggal cukup jauh dari bangsa lain.