Ini semi
backpacer yang adanya cuma melalui open trip to baduy dalam.
Ini keakraban
tiada tara bagi kelima pejuang tapak kaki yang ledes dimakan jalan setapak.
Ini adalah
penelusuran jalan setapak yang tak lagi berukuran setapak.
Inilah baduy
dalam.
Dibalik perjalanan ini hanya kita dan Tuhan yang tau sesuatu terjadi sebelumnya. Titik kulminasi yang tak disangka sangka akan hadir begitu luar biasanya. Takkan kubiarkan ia terluap disini, biarlah cukup di benak ku dan dirimu saja.
Perjalanan ini
punya begitu banyak cerita yang tak bisa aku jabarkan setiap detiknya. Biarlah bagiku
dan bagi kami saja yang menapaki perjalanan ini, kemudian menyimpannya dalam
tiap sel tubuh beriringan dengan rasa nikmatnya perjalanan. Tapi aku ingin
membagi sedikit ketakjuban sekaligus kegelisahan terhadap baduy dalam kita.
Tak banyak
suku-suku pedalaman khususnya di pulau jawa yang masih bertahan akan tradisi
dan adatnya yang luhur. Tak banyak yang selamat mempertahankan kearifan mereka
ditengah hantaman modernisasi yang begitu melukai mereka. Baduy salah satunya,
teguh bertahan meski tak pelak goyah diserbu pendatang.
Termasuk perjalanan
kami ini pun aku yakin melukai mereka perlahan.
Aku ingin
menyoroti sifat mereka yang begitu teduh, menerima tamu dengan begitu hangat. Melayani
bagai sudah ada jalinan persaudaraan. Padahal kenal nama kami saja pun tidak,
nama mereka pun kerap lupa dalam ingatan, kerap sulit membedakan mereka satu
dengan yang lain. Memang beberapa terlihat mirip. Yah.. memang karena tradisi
mereka yang menjodohkan anaknya dengan sesama penduduk baduy dalam juga. Maka jadilah
gen yang terus berputar di komunitas itu-itu saja.
Sepanjang perjalanan
seringkali aku perhatikan gelagat mereka. Terutama yang tua dan yang anak-anak.
Seperti masih benar-benar murni dan belum terpengaruh banyak hal dari luar. Kalau
yang remaja dan umur 20an itu sudah bukan baduy dalam hati mereka. Aku yakin
mereka ingin bebas. Kitalah racunnya. Sang bapak yang sudah beruban masih kuat
dan masih tahan berjalan panjang. Beberapa orang dalam kelompok open trip ini
kadangkala mengomentari tentang bentuk kaki, ukuran badan, otot, pergelangan
kaki, tapaknya dan lainnya di depan mereka langsung. Aku pikir itu sangat
tidak etis. Mereka juga manusia. Aku sempat mendengar kata-kata sang bapak, “ah..
bapak malu nak seperti ini”, sambil melihat ke arah kakinya. Tega kah kalian
berbicara mengenai keunikan mereka di telinga mereka?
Celotehan-celotehan
lain yang terkadang membuatku risih. “mereka jalan begitu kuat, bahkan tanpa
minum juga sanggup”
Aku menawari sang
bapak minum, beliau malu menerimanya. Aku perhatikan bibirnya yang kering. Nafasnya
pun tersengal. Sambil ragu mengambil tawaranku, akhirnya di tuangkannya
setengah botol minumku pada botolnya. Pun diserahkannya lagi pada anaknya. Begitu
lembut dan penuh kasih. Bagaimana tanggapan mu pada celotehan diatas seperti membicarakan
mereka bagaikan makhluk lain yang berbeda dari manusia? Begitu kerdil otaknya. Begitu
lemah perasaannya.
Di hari pertama,
jumat malam. Suasana begitu sepi.
Mereka begitu
menyukai ikan asin, bahkan ketika ada seorang dari rombongan kami yang salah
membawa ikan sebagai oleh-oleh untuk mereka, tampak kekecewaan yang sangat
dalam di wajah mereka sekeluarga. Bagaikan tak kebagian emas dari jarahan perang.
Apakah hanya karena ikan asin ini wahai saudara ku baduy, kalian menggadaikan
wilayah kalian untuk di jamah orang-orang kota ini? Semakin banyak lagi yang
datang di hari sabtu. Perkampungan sudah seperti kamp pengungsian masyarakat
kota dari kepenatan mereka sehari hari. Membawa beban pada sang baduy yang
arif.
selesai.
salut for them. little heroes from baduy dalam. |
-Faisal, Rizqah, Umil, Ratna, Tino-
kalo ada tombol 'like' akan kupilih untuk tulisan ini
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKegelisahan yang sama. Cerita yang kusimpan untuk Day 2 dan Day 3 tadinya :))
ReplyDelete